13/05/12

BID’AH HASANAH DAN SUNNAH SAYYIAH; apakah hukumnya? (bagian 1)

0



ISU SENSITIF

Bahasan menganai bid’ah telah menjadi sebuah bahasan yang super sensitif di kalangan umat Islam dari dulu hingga sekarang. Satu kelompok bisa mengangap sesat kelompok lain, satu kelompok bisa mengkafirkan bahkan mengahalalkan darahnya karena berbeda pandangan dalam masalah bid’ah. Sayangnya, tidak ada cukup kesempatan untuk mengadakan sebuah dialog. Kalaupun ada, maka dialog tersebut kebanyakan mengutamakan unsur egosentris daripada pemecahan masalah yang diijtihadkan, sehingga titik temu yang diharapkan,  sama sekali tidak nampak. Malah justru terlihat seperti perdebatan menang-kalah.


Sudah cukup banyak Cendikia masa lalu yang concern berbicara tentang Bid’ah. Kebanyakan perbedaan pandangan para Ulama’ sekarang merupakan lanjutan dari perbedaan Ulama’ masa lalu. Maka alangkah baiknya di kesempatan kali ini kita akan langsung merujuk kepada asalnya dimana perbedaan itu muncul.

DEFINISI, SEMUA BERMULA DARI SINI

Sering terjadi sebuah perbedaan hanya karena perbedaan definisi. Maka tidak bisa kita menemukan makna tashdiq sebelum membahas tasawwur-nya. Tidak bisa kita menentukan hukum kecuali telah paham definisinya.
Bid’ah secara bahasa berasal dari kata: بدع الشيء يبدعه بدعا ، وابتدعه : إذا أنشأه وبدأه
Artinya: membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.[1] Hal ini sebagaimana dapat dilihat dalam firman Allah Ta’ala,
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Allah Pencipta langit dan bumi.”[2] .

Maksudnya adalah mencipta (membuat) tanpa ada contoh sebelumnya. Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam juga pernah dituduh telah berbuat bid’ah oleh para kafir Qurays.
Maka Nabi menjawab sebagaimana terdapat dalam ayat:
“قل ما كنت بدعا من الرسل”

“Katakanlah: ‘Aku bukanlah yang membuat bid’ah di antara rasul-rasul’.”[3] , maksudnya aku bukanlah Rasul pertama yang diutus ke dunia ini.[4]

Kata Bid’ah adalah bentuk mashdar haiat (yang menjelaskan keadaan)Adapun kata Ibtada’a, abda’a, tabadda’a artinya melaksanakan kebid’ahan. Disebutkan dalam surat Al-Hadid: 2

ArtinyaKemudian Kami iringi di belakang mereka dengan Rasul-rasul Kami dan Kami iringi (pula) dengan Isa putra Maryam; dan Kami berikan kepadanya Injil dan Kami jadikan dalam hati orang- orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah[5]. Padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah, lalu mereka tidak memeliharanya dengan pemeliharaan yang semestinya. Maka Kami berikan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka pahalanya dan banyak di antara mereka orang-orang fasik.[6]

Adapun Bid’ah menurut istilah, maka disinilah letak perbedaan para Ulama’. Kalo kita lihat dari definisi dari para Ulama’ tentang bid’ah maka dapat disimpulkan paling tidak ada 2 definisi. Ada yang meluaskan makna bid’ah dan ada pula yang menyempitkannya. Berikut penjelasannya:

Definisi Kelompok Pertama

Bid’ah adalah sesuatu yang belum ada pada zaman Nabi Muhammad shallaAllahu alihi wasallam baik dalam hal ibadah maupun adat, baik yang terpuji maupun yang tercela. Definisi ini paling tidak diungkapkan oleh beberapa Ulama’ seperti Imam Syafi’i, Izzuddin Ibn Abdussalam, Abu Syamah, Al-Khatabi[7], Imam Nawawi[8], Al-Hafidz Ibnu Hajar[9], As-Shon’ani dalam Sabulus Salam dan masih banyak Ulama’ yang lain.

Definisi Kelompok Kedua

Bid’ah menurut pendapat kedua ini adalah semuanya tercela dan sesat. Diantara para Ulama’ yang berpendapat seperti ini adalah Imam Syatibi dalam Al-I’tisham, At-Thurthusy, Ibnu Rajab, Ibnu Taimiyyah dalam Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim.
Imam Syathibi dalam Kitab Al-I’tisham mendefisikan Bid’ah dalam dua definisi.[10]

1. طريقة في الدين مخترعة ، تضاهي الشرعية ، يقصد بالسلوك عليها المبالغة في التعبد لله سبحانه
Artinya: Bid’ah adalah sesuatu yang baru dalam agama yang menyerupai syariat dan dimaksudkan untuk melampui batas dalam beribadah kepada Allah.

2. طريقة في الدين مخترعة تضاهي الشريعة يقصد بالسلوك عليها ما يقصد بالطريقة الشرعية
Bid’ah adalah sesuatu dalam agama yang dibuat-buat menyerupai syariat dan dimaksudkan untuk dijalankan sebagaimana syariat agama.

Perbedaan dari definisi pertama dan kedua adalah yang pertama hanya masuk dalam ranah Ibadah. Sedangkan dalam definisi kedua mencakup dalam hal ibadah maupun adat.

Dalil Kelompok Kedua

Diantara dalil yang dipakai oleh kelompok kedua adalah sebagai berikut:

1. Allah ta’ala berfirman :
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا

“Pada hari ini telah Ku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu” [QS. Al-Maaidah : 3].

Agama islam sudahlah sempurna. Maka jika kita menambah-nambah sesuatu dalam agama artinya kita memanggap agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad belumlah sempurna dan masih ada yang kurang.

2. Sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” [11]

Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” [12]

Sebagaimana hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.”[13] 

3. Rasulullah SAW bersabda:

( مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Paling tidak itulah beberapa dalil yang sering dipakai oleh kelompok kedua. Alangkah baiknya kita juga melihat beberapa dalil yang digunakan kelompok pertama. Kelompok pertama membagi bid’ah menjadi hasanah dan saiyyiah.

Dalil kelompok Pertama

Sengaja penulis tulis argumentasi kelompok kedua terlebih dahulu karena dalil kelompok pertama adalah dalil yang juga dipakai oleh kelompok kedua. Tetapi kelompok pertama melihat dengan cara pandang yang lain.

1. Q.S. Al-maidah: 3 tentang kesempurnaan agama.  

Kelompok kedua berpendapat bahwa agama Islam sudahlah sempurna dan tidak perlu adanya tambahan lagi. Memang benar agama Islam sudahlah sempurna. Tetapi apakah makna sempurna disini. Apakah setelah ayat ini turun sudah tidak ada syariat Islam yang turun lagi?.

Ternyata jika kita buka kitab tafsir maka kita akan temui makna sempurna disini. Al-Qurthubi dalam tafsirnya[14] menjelaskan bahwa meurut riwayat yang shahih ayat ini turun di hari Jum’at hari arafah pada saat haji wada’. Menurut Jumhur yang dimaksud sempurnanya agama adalah sempurnanya sebagian besar syariat agama, hukum halal dan haram. Karena setelah ayat ini turun, masih ada ayat lain yang turun setelahnya seperti ayat riba dan ayat tentang kalalah.  

Adapula yang memaknai kesempurnaan agama sebagai kesempurnaan rukun islam. Karena di tahun ini Nabi dan para shahabatnya telah melaksanakn rukun islam yang terakhir yaitu haji.
Dalam tafsir Ibnu katsir diterangkan bahwa Nabi Muhammad wafat 81 hari setelah turunnya ayat ini sebagaiman keterangan as-Syaukani dalam tafsirnya.[15]

2. Hadits Nabi bahwa “kullu bid’atin dholalah”. 

Para Ulama’ berbeda pendapat mengenai maksud lafadz “kullu”. Kelompok kedua mengartikan “kullu” bahwa semua bid’ah itu pasti tersesat. Berbeda dengan kelompok pertama.
Apa yang dimaksudkan dengan ‘perkara yang baru’ adalah yang bertentangan dengan Syari‘at. Itu dan itu saja yang dimaksudkan dengan Bid‘ah” Demikian juga ayat Allah juga menjelaskan, ada bid’ah yang terpuji, sebagaimana firman-Nya :

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاء رِضْوَانِ اللهِ

“Dan kami jadikan di hati mereka (Hawariyyun pengikut Isa) rasa kasih dan sayang serta Rahbaniyah yang mereka buat, Kami tidak mewajibkan rahbaniyah itu, (mereka tidak melakukan itu) kecuali untuk mencari keridhaan Allah”. (QS. Al-Hadid : 27)

Dalam ayat itu Allah menjelaskan bahwa Ia telah mengkaruniai Hawariyyun dengan tiga perkata. Pertama, rasa kasih, yakni berhati lembut sehingga tidak mudah emosi. Kedua, rasa sayang, yakni mudah tergerak untuk membantu orang lain. Ketiga, Rahbaniyah, yakni bersungguh-sungguh didalam mengharap ridha Allah, mereka berupaya dengan banyak cara untuk menyenangkan Allah, walaupun cara itu tidak diwajibkan oleh Allah.

Kalimat “Kullu” Tidak berarti semua tanpa kecuali dalam Bahasa Arab, Kullu berarti semua. Namun dalam penggunaan, tidak semua kullu berarti semua tanpa kecuali. Ada banyak ayat al-Qur’an yang menggunakan kalimat “kullu” akan tetapi tidak bermaksud semua tanpa kecuali. Diantaranya:

1. Allah SWT berfirman:

فَلَمَّا نَسُوْا مَا ذُكِّرُوْا بِهِ فَتَحْنَا عَلَيْهِمْ أَبْوَابَ كُلِّ شَيْءٍ حَتَّى إِذَا فَرِحُوْا بِمَا أُوْتُوْا أَخَذْنَاهُمْ بَغْتَةً فَإِذَا هُمْ مُبْلِسُوْنَ “
Artinya: Maka tatkala mereka melupakan peringatan yang telah diberikan kepada mereka, Kamipun membukakan pintu-pintu dari segala sesuatu untuk mereka, sehingga ketika mereka bergembira dengan apa yang telah diberikan kepada mereka, Kami siksa mereka dengan sekonyong-konyong, maka ketika itu mereka terdiam berputus asa.”[16].

Meskipun Allah SWT menyatakan abwaba kulli syai’ (pintu-pintu segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu pintu rahmat, hidayah dan ketenangan jiwa yang tidak pernah dibukakan untuk orang-orang kafir itu. Kalimat “kulli syai” (segala sesuatu) adalah umum, tetapi kalimat itu bermakna khusus.

2. Allah SWT berfirman:

أَمَّا السَّفِيْنَةُ لِمَسَاكِيْنَ يَعْمَلُوْنَ فِي الْبَحْرِ فَأَرَدْتُ أَنْ أَعِيْبَهَا وَكَانَ وَرَاءَهُمْ مَلِكٌ يَأْخُدُ كُلَّ سَفِيْنَةٍ غَصْباً
“Adapun perahu itu adalah milik orang-orang miskin yang bekerja di laut, aku bermaksud merusak perahu itu, karena di hadapan mereka ada seorang Raja yang mengambil semua perahu dengan paksa.”[17].

Meskipun Allah SWT mengunakan kalimat kulla ssafinatin (semua perahu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu perahu yang bocor, karena Raja yang diceritakan dalam ayat itu tidak merampas kapal yang bocor, bahkan Nabi Khidhir sengaja membocorkan perahu itu agar tidak dirampas oleh Raja.

3. Allah berfirman :

تُدَمِّرُ كُلَّ شَيْءٍ بِأَمْرِ رَبِّهَا فَأَصْبَحُوْا لاَ يُرَى إِلاَّ مَسَاكِنُهُمْ كَذلِكَ نَجْزِي الْقَوْمَ الْمُجْرِمِيْنَ “
Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, Maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi Balasan kepada kaum yang berdosa.”[18]

Meskipun Allah SWT menyatakan kulla syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, yaitu gunung-gunung, langit dan bumi yang tidak ikut hancur. Allah berfirman : إِنِّيْ وَجَدْتُ امْرَأَةً تَمْلِكُهُمْ وَأُوْتِيَتْ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ وَلَهَا عَرْشٌ عَظِيْمٌ  “Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.”[19].

Meskipun Allah SWT menyatakan kulli syai’ (segala sesuatu), akan tetapi tetap ada pengecualiannya, karena Ratu Balqis tidak diberi segala sesuatu tak terkecuali, sebanyak apapun kekayaan Balqis tetap saja terbatas. Ayat-ayat diatas membuktikan bahwa, dalam konteks al-Qur’an, kalimat “kullu” juga bisa berarti “semua dengan pengecualian”, sebagaimana lazimnya dalam penggunaan bahasa Arab dan bahasa lainnya. Masihkah Ada yang menyalahkan ulama salaf semisal asy-Syafi’i karena menafsirkan kalimat “kullu” dalam Hadits “Kullu bid’atin” dengan metode berfikir yang jernih dan ditunjang dengan perangkat pendukung dan dalil-dalil yang jelas.

3. Hadits Rasulullah SAW bersabda: 

( مَنْ أحْدَثَ فِي اَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري و مسلم)
“Barang siapa yang membuat perkara baru dalam masalah (agama) kami ini, yang tidak bersumber darinya, maka ia tertolak.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Kata “amr” memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata “amara – ya’muru” yang berarti “memerintahkan”. Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf “alaa” (atas), maka artinya adalah “menguasai”. Jadi, bila kalimat “amara ‘alaa” berarti “menguasai”, maka kalimat “amarnaa ‘alaihi” berarti “kami menguasainya”, maka kalimat “amrunaa ‘alaihi” atau “alaihi amrunaa” amat janggal bila diartikan “perintah kami atasnya”. Karena untuk arti “perintah”, kata “amara” lebih tepat diiringi huruf “bi” (dengan), seperti firman Allah ta’ala: “Innallaaha ya’muru bil-’adli” (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).

Kata amr pada “amrunaa” di dalam haditst tersebut menurut para ulama maksudnya adalah “urusan (agama) kami”. Jadi terjemah haditst itu bunyinya adalah sebagai berikut, “Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak”. Seandainya pun kata “amrunaa” diartikan sebagai “perintah kami” dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu “amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami”, bukan ” yang tidak ada perintah kami atasnya “.

“Tidak sesuai perintah” mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadits itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan “tidak ada perintah kami atasnya ” mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”. To be continue...

Oleh: Luthfi Abdu Robbihi
RRumah Fiqih Indonesia

Footnote 
[1]  Majma’ Al Lugoh Al ‘Arobiyah, Al Mu’jam Al Wasith, 1/91 lihat juga: as-syairazi, Al-Muhith juz III/03 lihat juga: Munjid, 27 
[2] QS. Al Baqarah : 117, Al An’am : 101
[3] QS. Al Ahqaf : 9
[4] Jamaluddin Ibn Fadli Muhammad, Lisanul ‘Arob, 8/6
[5] Yang dimaksud dengan Rahbaniyah ialah tidak beristeri atau tidak bersuami dan mengurung diri dalam biara.
[6] QS. Al Hadid: 27
[7] Al-Khattabi, Ma’aalimus Sunan, IV/301
[8] An-Nawawi, Syarah Muslim, VI/154
[9] Ibnu Hajar, Fathul Baari, IV/318
[10] As-Syatibi, Al-I’tisham, hlm. 1/18
[11] HR. Muslim no. 867
[12] HR. An Nasa’i no. 1578. 
[13] HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676.
[14] Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, 6/61
[15] Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, 2/10. Lihat juga As-Syaukani, Fathul Qadir, 2/13
[16] QS. al-An’am : 44
[17] QS. al-Kahfi : 79
[18] ََQS. Al-Ahqaf : 25
[19] QS. An-Naml: 23


0 komentar:

Posting Komentar