14/05/12

BID’AH HASANAH DAN SUNNAH SAYYIAH; apakah hukumnya? (bagian 2)

0



Apakah Setiap yang Tidak Nabi Lakukan Termasuk Bid’ah?

Segala urusan di dalam agama oleh sebagian orang  mereka menganggapnya hanya ada di antara dua kategori, yaitu: 
  1. Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur’an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.
  2. Yang dilarang , yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.

Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah dan kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori lagi, yaitu “yang tidak diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadits di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian”.

إنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا .حديث حسن رواه الدارقطني وغيره
Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya”
(Hadits hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).

Imam Ibnu Hajar al-Atsqolani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah “Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu.”

Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadits tersebut di mana ketika Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “Apakah setiap tahun Yaa Rasulullah?”. Maka Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Shollallaah ‘alaih wa sallam kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau bersabda ,”Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”.

Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.

Tetapi sayangnya, kategori ini ada yang memasukkannya dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu “yang dilarang”.  Mereka beranggapan bahwa melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:

“… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih. ” (QS. An-Nuur: 63)

Dalam hadits lain disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“ وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةً ضَلاَلَةً لاَ تُرْضِيْ اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا … “

.. Dan barangsiapa mengadakan Bid’ah yang sesat yang tidak diridhoi oleh Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ia mendapat (dosanya) dan sebanyak dosa orang lain yang ikut mengerjakannya.” HR. Tirmidzi. Dalam Hadits diatas terdapat kalimat “Bid’ah yang sesat”.

Selama kedua kelompok ini belum bias menyamakan persepsi tentang definisi bid’ah maka bias dipastikan tidak aka nada titik temu diantara keduanya. Itulah definisi dan argumentasi dari masing-masing kelompok tentang bid’ah. Penulis disini hanya mengemukakan kedua pendapat tadi.

PEMBAGIAN BID’AH DAN HUKUMNYA

Imam Syafi’i, izuddin Ibn Abdussalam[1], Abu Syamah[2], An-Nawawi Al-Syafi’iy[3], Al-Qarafi, Az-Zarqani Al-Maliky, Ibnu Al-Jauzi Al-hanbaly[4], dan Ibnu Abidin Al-Hanafy[5], membagi bid’ah menurut hukum taklifi yang lima; yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.

Bagi kelompok kedua yang mengatakan bahwa setiap bid’ah ada sesat membagi bid’ah sebagai berikut:

1. Bid’ah Hakiki.

Bid'ah hakiki adalah bid'ah atau perbuatan mengada-ngada dalam urusan agama yang tidak ada landasan agama atau dalil agamanya sama sekali. Seperti melakukan salat satu kali dalam satu hari satu malam, atau menambah rakaat shalat fardhu dan semisalnya, ataupun yang baru terjadi di Indonesiayaitu menterjemahkan bacaan-bacaan dalam shalat ketika melakukan shalat dan lainnya.[6]

2. Bid’ah Idhofi.

Sedangkan bid'ah idhafi adalah perbuatan yang segala perbuatan yang dasarnya atau asalnya diperintahkan tetapi diberikan tambahan-tambahan yang tidak ada dalilnyanya. Bid’ah idhofi ini mempunyai dua sisi, sehingga apabila dilihat pada salah satu sisi, maka seakan-akan itu sesuai dengan sunnah karena berdasarkan dalil.

Namun bila dilihat dari sisi lain, amalan tersebut bid’ah karena hanya bersandar kepada syubhat, tidak kepada dalil atau tidak disandarkan kepada sesuatu apapun. Adapun bila dilihat dari sisi makna, maka bid’ah idhofi ini secara asal memiliki dalil. Akan tetapi dilihat dari sisi cara, sifat atau perinciannya, maka dalil yang digunakan tidak mendukungnya, padahal tata cara amalan tersebut membutuhkan dalil. Seperti shalat Raghaib, shalat Birrul walidain, shalat nisfu sya’ban.

Ada pula yang membagi bid’ah kepada Lughawiyyah dan Muthlaqah/Ishtilahiyyah.
1. Pengertian bid’ah dalam kacamata bahasa (lughah) lebih umum dibanding makna syar’inya. Antara dua makna ini ada keumuman dan kekhususan yang mutlak, karena setiap bid’ah syar’iyyah masuk dalam pengertian bid’ah lughawiyyah, namun tidak sebaliknya, karena sesungguhnya sebagian bid’ah lughawiyyah seperti penemuan atau pengada-adaan yang sifatnya materi tidak termasuk dalam pengertian bid’ah secara syari’at[7].

2. Jika dikatakan bid’ah secara mutlak, maka itu adalah bid’ah yang dimaksud oleh hadits “Setiap bid’ah itu sesat”, dan bid’ah lughawiyyah tidak termasuk di dalamnya, oleh sebab itu sesungguhnya bid’ah syar’iyyah disifati dengan dlalalah (sesat) dan mardudah (ditolak). Pemberian sifat ini sangat umum dan menyeluruh tanpa pengecualian, berbeda dengan bid’ah lughawiyyah, maka jenis bid’ah ini tidak termasuk yang dimaksud oleh hadits : “Setiap bid’ah itu sesat”, sebab bid’ah lughawiyyah itu tidak bisa diembel-embeli sifat sesat dan celaan serta serta tidak bisa dihukumi ditolak dan batil.

Tetapi jika kita kembalikan pada hadits “kullu bid’atin dhalalah” sebagaimana kelompok kedua mengetakan bahwa semua bid’ah adalah sesat, maka kenapa ada pembagian bid’ah lughawiyyah dan muthlaqah?. Bukankah semua bid’ah itu sesat?.

Apa Hukumnya Bid’ah?

Inilah pokok bahasan penulis kali ini, ketika ada suatu yang baru dalam agama,Islam apakah hukumnya? Apakah bid’ah itu termasuk dalam hukum Islam?. Artinya setiap sesuatu yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat dan setiap yang sesat adalah di neraka. Kelompok dua berpendapat bahwa setiap hal baru (bid’ah) adalah haram.

Bagi kelompok pertama, bid’ah adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menyebut perkara baru yang tidak berasal dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa sallam. Adapun hukum Islam ada 5 yakni : wajib, sunnah (mandub), mubah, makruh dan haram. Ini adalah bahasan tentang status hukum dan penetapannya. Maka, apabila ada perkara yang oleh ulama dianggap sebagai bid’ah, mereka tidak serta merta menjatuhkan status hukum haram untuk bid’ah tersebut, melainkan mereka (ulama) menimbang dan mengkaji terlebih dahulu tentang bid’ah tersebut, yakni terkait selaras atau tidaknya dengan kaidah-kaidah syariat.

Sehingga nantinya akan terlihat/dapat disimpulkan status hukum untuk perkara bid’ah tersebut, apakah masuk dalam hukum wajib, sunnah/mandub/mustahab, mubah/jaiz, makruh dan haram. Sebab sesuatu harus ditetapkan status hukumnya. Nikah pun yang jelas-jelas sunnah Rasulullah, tidak serta merta dihukumi wajib tergantung kondisi dan situasinya. Oleh karena itu bid’ah juga harus ditinjau dengan kaidah syariat dalam menetapkan hukum.[8]

Ternyata dari kelompok kedua kita temui bahwa tidak semua bid’ah adalah haram. Ada juga bid’ah makruhah sebagaiamana dijelaskan dalam kitab al-I’tisham ketika berbicara tingkatan bid’ah, Bid’ah yang makruh menurut as-Syatibi seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.[9]

MUNGKINKAH KITA BERSATU?

Iniah pertanyaan yang ingin penulis tanyakan kepada para pebaca sekalian. Setelah kita membaca beberapa keterangan Ulama’ mengenai makna, macam, dan hukum bid’ah. Bisakah umat Islam bersatu. Mari kita renungkan dan jawab dalam hati masing-masing. Penulis tutup dengan perkataan:
اختلف فيها السابقون، تنازع فيها اللاحقون، ولا أمل في أن يتفق عليها المعاصرون
“Orang-orang terdahulu telah berikhtilaf, lalu orang setelahnya berdebat, dan pastinya sulit sekarang orang akan bersepakat” 

Oleh: Luthfi Abdu Robbihi
Rumah Fiqih Indonesia

footnote:
[1] Izzuddin Ibn Abdussalam, Qawaidul Ahkam, 2/172
[2] Abu Syamah, Al-Baits ala Inkaril Bida’ wal Hawadits
[3] An-Nawawi, Tahdzibul Asma wallughat, 1/22
[4] Ibnu Al-Jauzi, Talbis Iblis, 16
[5] Ibnu Abidin, Hasyiah Ibni Abidin, 1/376
[6] As-Syathibi, Al-I’tisham, 1/232
[7] Ibnu Taymiyyah, Iqhtidlaush Shirathil Mustaqim, 2/590
[8] an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim 6/154-155. Lihat juga:
[9] As-Syathibi, Al-I’tisham, 2/31-59

0 komentar:

Posting Komentar