10/05/12

BOLEHKAH MEMBACA SURAT YASIN KEPADA ORANG YANG AKAN MENINGGAL?

1


PROLOG

MATI, Siapakah yang tidak takut dengan kata itu. Banyak orang menggunakan berbagai cara untuk menghindar bertemu dengannya. Kenapa takut? “Ada pepatah bilang: Manusia itu menjadi musuh dari apa yag belum diketahuinya”[1], takut karena memang semua belum pernah menemuinya, takut karena akan berpisah dengan orang-orang tercinta, takut karena belum yakin telah banyak banyak kebaikan yang dikerjakannya, takut karena masih banyak dosa yang belum ditaubatinya.

Tetapi mati itu pasti datangnya. Sesuai jadwal tanpa ada kata telat maupun terlalu cepat. Tidak mengenal kata “seandainya” dan “jikalau”. Seandainya tadi tidak di jalan pasti tidak tertabrak, Jikalau lebih cepat dibawa ke Rumah Sakit pastinya bisa tertolong. Tidak, itu sudah takdir Allah subhanahu wa ta’ala.

Setiap manusia pasti mengharapkan akhir yang manis dalam setiap episode hidupnya. Husnul khotimah adalah dambaan setiap orang hidup. Mengucap kalimat syahadat kala ruh berpisah dengan raga adalah do’a siang malam para hamba[2]. Jika ada seorang yang sakit dan dirasa sudah dekat ajal menjemput, maka para keluarga pun sibuk membantu sang calon mati untuk bisa menugucap kalimat syahadat itu[3].

Para keluarga juga sibuk membaca yasin disekelilingnya. Dengan harapan dan do’a kepada Allah, “jika hidup itu baik bagi si sakit maka sembuhkanlah, tetapi jika mati itu lebih baik baginya maka permudahlah dia menemui ajalnya ya Rabb , bimbinglah dia mengucap kalimat tauhid kepadamu ya Rabb”[4]. Itulah harapan dari para sanak saudara pembaca yasin.

MEMBACA YASIN KEPADA ORANG YANG DALAM KEADAAN SAKARATUL MAUT.

Suatu hal yang lazim dilakukan masyarakat kita adalah membacakan yasin kepada orang yang dalam keadaan sakaratul maut. Dari dahulu tradisi ini mengakar kuat dalam masyarakat tanpa ada resistensi. Semuanya mafhum bahwa itulah yang terbaik yang bisa diberikan untuk menghantarkan sang calon mayyit menghadap Rabbnya. Pastinya itu lebih baik jika mengantarkan sang calon mayyit dengan hanya tangisan, ratapan atau mengantarkannya dengan iringan musik dangdut.

Tetapi urusan membaca yasin kepada calon mati ini menjadi perbincangan yang hangat tatkala ada pihak yang mempermasalahkan keautentikan dalilnya. Masalah ini menyeruak ramai riuh di dunia maya dan tak tampak di dunia nyata. Lantas bagaimana tradisi itu muncul di masyarakat kita? Adakah dalilnya? Bagaimanakah derajat haditsnya?

NASH HADITS

عن معقل بن يسار قال قال النبي صلى الله عليه وسلم : اقرؤوا يس على موتاكم

Dari Ma’qil bin Yasaar ia berkata : Telah bersabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :“Bacakanlah (surat) Yaasiin pada orang (yang akan) mati di antara kalian”.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini dikeluarkan oleh:
  1. Imam Abu Daud dalam Sunannya, Kitab Al Janaiz Bab Qira’ah ‘Indal Mayyit, No. 3121
  2. Imam Ahmad dalam Musnadnya, Jilid. 5, No. 19416
  3. Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Kitab Al Janaiz wa Maa Yata’alaqu biha Muqaddiman wa Mu’akhiran Fashl fi Al Muhtadhar, No. 3002.
  4. Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunannya, Kitab Al Janaiz Bab Maa Ja’a fimaa Yuqalu ‘Indal Maridh Idza Hadhara, No. 1448
  5. Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, No. 16904
  6. Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, No. 2356
  7. An-Nasaaiy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah no. 1074
  8. Al-Haakim: 1/565
  9. Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah 5/295 no. 1464
  10. Ibnu Abi Syaibah 3/237
  11. Abu ‘Ubaid dalam Fadlaailul-Qur’an lembar no. 65
 Bebarapa jalan sanad dari hadits diatas adalah:

1. Sunan Abu Daud 2714:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al 'Ala`, dan Muhammad bin Makki Al Marwazi, secara makna, mereka berkata; telah menceritakan kepada kami Ibnu Al Mubarakdari Sulaiman At Taimi dari Abu Utsman bukan An Nahdi, dari ayahnya, dari Ma'qil bin Yasar, ia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacakanlah Surat Yaasiin kepada orang yang akan meninggal diantara kalian." Dan ini adalah lafazh Ibnu Al 'Ala`.

2. Musnad Ahmad 19416:
Telah menceritakan kepada kami 'Arim, telah menceritakan kepada kamiAbdullah bin Mubarak, telah menceritakan kepada kami At Taimi dari Abu 'Utsman, bukan An Nahdi dariAyahnya dari Ma'qil bin Yasar ia berkata; Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda:"Bacakanlah kepada orang-orang yang meninggal diantara kalian yaitu surat Yaasiin."

3. Musnad Ahmad 19427:
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Ishaq, telah menceritakan kepada kamiAbdullah dan 'Attab, telah menceritakan kepada kami Abdulah bin Mubarak, telah mengabarkan kepada kami Sulaiman At Taimi dari Abu Utsman, bukan An Nahdi dari Ayahnya dari Ma'qil bin Yasar ia berkata; Rasulullah Shallalahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacakanlah (surat Yaa Siin) terhadap orang-orang yang meninggal diantara kalian." Ali bin Ishaq berkata dalam haditsnya yaitu surat Yaa Siin.

4. Sunan Ibnu Majah 1438:
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah berkata, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnul Hasan bin Syaqiq dari Ibnul Mubarak dari Sulaiman At Taimi dariAbu Utsman -bukan An Nahdi- dari Bapaknya dari Ma'qil bin Yasar ia berkata, "Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda: "Bacakanlah ia untuk orang-orang akan meninggal dari kalian, yakni YASIIN. "

  • Al 'Ala`, (Tsiqoh,perawi kitab 6) dan Muhammad bin Makki Al Marwazi,(Maqbul) dan 'Arim,(Tsiqoh perawi kitab 6) ------(HR.  Abu Daud dan Ahmad)
  • Ali bin Ishaq,(Tsiqoh) telah menceritakan kepada kami dan 'Attab (Tsiqoh) ------(HR. Ahmad)
  • Abu Bakr bin Abu Syaibah (Tsiqoh, perawi bukhari muslim) berkata, telah menceritakan kepada kami Ali Ibnul Hasan bin Syaqiq (Tsiqoh perawi kitab 6) -----(HR. Ibnu Majah)

Beberapa rawi ini meriwayatkan hadits dari jalan:
  • dari Ibnul Mubarak (Tsiqoh Imam , perawi kitab 6 dan ahmad serta Darimi)
  • dari Sulaiman At Taimi (Tsiqoh , perawi kitab 6 plus Ahmad dan Darimi)
  • dari Abu Utsman -bukan An Nahdi- (Ibnu Madini =majhul tapi Di tsiqohkan Ibnu Hibban, merupakan perawi Abu daud 1 hadist, nasai 1 hadist, Ibnu Majah 1 Hadist, Ahmad 2 hadist)
  • dari Bapaknya : (majhul sama seperti Abu Utsman, merupakan perawi Abu daud 1 hadist, nasai 1 hadist, Ibnu Majah 1 Hadist, Ahmad 2 hadist)
  • dari Ma'qil bin Yasar: ( sahabat)
Itulah para rawi hadits ini.

SIAPAKAH YANG BERHAK MENGHUKUMI DERAJAT HADITSNYA?

Menghukumi suatu hadits shahih atau dhoif pastinya bukan hal yang mudah yang bisa dilakukan oleh siapa saja. Beberapa pihak amat bermudah-mudah menggelari beberapa orang dengan gelar “al muhaddits”. Atau bahkan lebih dari itu, ada yang dengan sengaja menjuluki tokoh tertentu dengan sebutan “muhaddits abad ini”, padahal yang bersangkutan tidak memiliki periwayatan, tidak menyimak hadits dari para perawi dan muhadditsun sebelumnya, atau mungkin hanya memperoleh ijazah dalam kitab-kitab tertentu saja.

Muhaddits sendiri secara bahasa adalah orang yang meriwayatkan (rawi) hadits Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.[5] Namun, dalam ilmu musthalah al hadits, ditetapkan syarat, hingga seorang perawi disebut muhaddits. Al Hafidz As Suyuthi dalam muqadimah Tadrib Ar Rawi, telah menuliskan beberapa syarat orang bisa disebut muhaddits.[6]

Tatkala berbicara mengenai tingkatan penguasaan dalam ilmu hadits, Al Hafidz As Suyuthi telah membahas masalah ini dengan penjang lebar, ketika menyebutkan kriteria hafidz, muhaddits dan musnid, dengan menyebutkan,”Ketahuilah bahwa derajat terendah dari ketiganya adalah musnid, yakna siapa yang meriwayatkan hadits dengan isnadnya, baik dia memiliki ilmu tentang hadits atau hanya sekedar meriwayatkan. Adapun muhaddits lebih tinggi dari hal ini.”

DERAJAT HADITS

Jika membahas mengenai derajat hadits ini, paling tidak ada 2 pendapat yang didapat dari beberapa Ulama’. Antara yang menshahihkan dan mendhaifkan.
  • Pendapat yang mendhaifkan
Sanad hadits ini lemah (dla’iif), karena: 
1. Tidak diketahui (jahalah) siapa Abu ‘Utsman dan ayahnya.
2. adanya perselisihan (idlthirab) dalam sanadnya. An-Nasa’iy, Al-Baghawiy, dan Ibnu Hibbaan membawakan hadits ini tanpa menyebutkan “dari ayahnya” – yaitu ayah Abu ‘Utsman.

Al-Haafidh Ibnu Hajar berkata[7]: “An-Nasa’iy dan Ibnu Majah tidak menyebutkan : ‘dari ayahnya’. Ibnul-Qaththaan men-ta’lil-nya dengan adanya idlthiraab, status mauquf (hanya sampai pada shahabat saja), serta jahalah Abu ‘Utsman dan ayahnya.

An-Nawawiy berkata[8]: “Sanadnya dla’iif, padanya terdapat dua orang yang majhul. Namun hadits ini tidak di-dla’if-kan oleh Abu Dawud”

Inilah alasan beberapa Ulama’ yang mendhoifkan hadits tersebut, yaitu tidak diketahuinya siapa Abu ‘Utsman dan adanya idhtirob karena terkadang menyebut bapaknya terkadang tidak.
  • Pembanding dari pendapat yang mengatakan lemah.

Hadist diatas dikeluarkan oleh Ibnu Hibban dalam SHOHIH-NYA, dan perawi dalam sanadnya Tsiqoh, Hanya saja Abu Utsman dikomentari oleh Ibnu Hajar dengan maqbul[9], dan ditsiqohkan oleh Ibnu Hibban.[10] Sebagaimana Abu Dawud seperti diutarakan Imam Nawawi, juga tidak mendhaifkan hadits ini.

Adanya Sulaiman At-taimi (Tsiqoh , perawi kitab 6 plus Ahmad dan Darimi) dan Abdulloh bin Mubarak (Tsiqoh Imam , perawi kitab 6 dan ahmad serta Darimi) dalam hadist diatas merupakan Indikasi bahwa hadist diatas bisa diamalkan .dan Juga mengindikasikan bahwa Sulaiman At-taimi mengenal Abu Utsman, dan bukan majhul.

Abu Utsman walupun majhul, tetapi dipakai periwayatannya oleh banyak Muhadditsin. Diantaranya: Imam Abu Daud dalam Sunannya, Imam Ahmad dalam Musnadnya, Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya,Imam Ibnu Majah dalam kitab Sunannya, Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, Imam Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman, An-Nasaaiy dalam ‘Amalul-Yaum wal-Lailah, Al-Haakim, Al-Baghawiy dalam Syarhus-Sunnah, Ibnu Abi Syaibah, Abu ‘Ubaid dalam Fadlaailul-Qur’an. 

BOLEHKAN KITA MENGAMALKANNYA?

Inilah yang penting dari pembahasan kita kali ini. Bolehkah kita mengamalkannya?. Paling tidak harus dipahami bahwa dalam kaitan hadits ini ada perbedaan Ulama’. Dan tidak bisa dibenarkan jika ada orang melarangnya hanya karena haditsnya mereka anggap lemah. Padahal ada banyak ulama’ yang menshahihkannya. Bahkan jika memang benar haditsnya itu dhoif, para Ulama’pun ada yang membolehkan mengamalkannya secara muthlak ketika hadits itu bukan berbicara konteks halal-haram, tetapi dalam tataran fadhailul a’mal.

“Ah, kalo ada yang shahih, mengapa kita memakai hadits dhoif”. Pernyataan ini benar adanya. Tetapi jika salah pakai, bahkan dipakai untung membid’ahkan bahkan mengatakan sesat orang lain maka disitulah namanya “Egois dalam beragama” dan itu tidaklah dibenarkan. Betapa banyak kitab para Ulama’ yang di dalamnya terdapat hadits dhoif. Sekali lagi harus dimengerti secara mendalam apa itu hadits dhoif dan bagaimana pengamalannya. Karena timbul kecenderungan sekarang opini yang dibuat entah oleh siapa bahwa hadits dhoif itu saudaranya hadits maudlu'. Padahal sangat jauh berbeda. Karena dhoif itupun ada tingkatannya.

Dalam kaitan masalah ini, mari kita simak beberapa riwayat lain. Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnadnya[11]  dari jalan Shafwan. Ia (Shafwan) berkata:

Telah berkata kepadaku beberapa Syaikh bahwa mereka hadir ketika Ghadhief bin Harits (seorang Sahabiy) mengalami naza' (sakaratil maut), seraya berkata: “Siapakah dari antara kamu nan dapat membacakan surat Yaasiin?” Lalu Sholeh bin Syuraih as-Sakuni membacakannya. Maka, ketika sampai pada ayat ke-40, ia (Ghadhief) wafat. Shafwan berkata: Para Syaikh berkata: “Bila dibacakan surat Yaasiin di sisi orang nan mau meninggal, niscaya diringankan bagi si mayyit (keluarnya ruh) dengan sebab bacaan itu. Kata Shafwan: “Kemudian ‘Isa bin Mu'tamir membacakan surat Yaasiin di sisi Ibnu Ma'bad.”  [HR. Ahmad: 4/105].

Al Hafidz Ibnu hajar mengomentari sanad hadits ini hasan[12]. Ibnu Taimiyyah mengatakan[13] dalam Ikhtiyaratnya: “membaca Qur’an kepada mayyit setelah meninggal adalah bid’ah, sedangkan ketika ketika sakaratul maut (Ikhtidhar) maka sunnahnya dibacakan surat yaasiin.

Bagaimana dengan pendapat Ulama’ madzhab empat? Ulama’ Hanafiyyah, Syafi’iyyah dan Hanabilah menyatakan kesunnahan membaca surat Yasin kepada orang dalam keadaan sakaratul maut(Mukhtadhir), Kecuali malikiyyah[14] maka mereka mengatakan makruh.[15]

Syeikh Abdullah Bin Baz ditanya mengenai masalah ini, beliau mengatakan bahwa membaca Al Qur’an bagi orang yang akan meninggal adalah baik, tetapi jika mengkhususkan yasin maka dalilnya lemah.[16]

Syeikh Utsaimin juga ditanya tentang masalah ini, beliau menjawab bahwa membacakan yasin kepada orang yang akan meningal telah dikatakan sunnah oleh banyak Ulama’. Tetapi dalil dari hadits ini banyak diperbincangkan Ulama’ pula. Maka bagi yang menshahihkan haditsnya maka mengatakan sunnah begitu sebaliknya.[17]

KESIMPULAN

Hadits mengenai membaca yasin kepada orang yang akan meninggal ini memang diperselisihkan para Ulama’ dari zaman dahulu, antara yang menshahihkan dan mendhaifkan. Para Ulama’ yang menyatakan kedhaifan hadits ini pun tidak melarang orang untuk mengamalkannya. Banyak kisah para salaf yang menceritakan fadhilah surat yasin ini. Maka tidak perlu lagi diperdebatkan lagi tentang boleh tidaknya membaca yasin kepada orang yang akan meninggal.
Jika ada khilaf dan bahasa yang kurang enak mohon dimaafkan dan dikoreksi sehingga menjadi lebih ahsan.

Wallohu a’lam bishshowab

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا أَنْتَ أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ 

Oleh: Luthfi Abdu Robbihi
Rumah Fiqih Indonesia

Footnote:

[1] Dalam sebuah hikmah berbahasa arab dikatakan, الإنسان عدو ما يجهل

[2] Nabi bersabda yang artinya: “Barang siapa yang akhir perkataannya sebelum meninggal dunia adalah ‘lailaha illallah’, maka dia akan masuk surga.”(H.r. Abu Daud no. 3118, Al Hakim no. 1299)

[3] Dari Abu Sa’id dan Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,“Ajarilah orang-orang yang hendak meninggal dunia di antara kalian ucapan laa ilah illallah” (Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram no.501 mengatakan, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Muslim dan kitab hadits yang empat (Nasai, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah)

[4] ‘Ya Allah, hidupkanlah aku (panjangkan usiaku), jika hidup itu lebih baik bagiku dan matikanlah aku jika kematian itu lebih baik bagiku’ (muttafaq alaih)

[5] Mu’jam Al Wasith, hal.160

[6] Al Hafidz As Suyuthi, muqadimah Tadrib Ar Rawi,hal. 29-35.

[7] Al-Haafidh Ibnu Hajar, At-Talkhiish, hal. 2/110

[8] An-Nawawiy, Al-Adzkaar (hal. 122; tahqiq : Al-Arna’uth)

[9] Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani, Bulughul Maram, Kitabul Janaiz, no. 437. Cet.1, Darul Kutub Al Islamiyah

[10] Imam Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya, Kitab Al Janaiz wa Maa Yata’alaqu biha Muqaddiman wa Mu’akhiran Fashl fi Al Muhtadhar, No. 3002.

[11] Ahmad Ibnu Hanbal, Musnad, Hal. 4/105.

[12] Ibnu Hajar, Al-Ishobah, Hal. 5/324, Lihat juga Al majmu’: 5/105, Syarah Muntahal Irodat: 1/341, hasyiah Ibnu Abidin: 2/191.

[13] Ibnu Taimiyyah, Al Ikhtiyarat, Hal. 91

[14] Ahmad Bin Ghanim An Nafrawi, Al Fawakih Ad Dawani, Hal. 1/284

[15] Syarah Mukhtahsar al Khalil: 2/137

[16] Fatawa Bin Bazz: 13/93 dengan makna.

[17] Fatawa Utsaimin: 17/72 dengan makna.

1 komentar:

Ubaid_Hasna mengatakan...

Assalamu'alaikum, ustadz, mohon maaf, mohon penjelasan bahwa ketika ada banyak ahli hadits men-ta'dil seorang perowi, kemudian ada beberapa orang ahli hadits lainnya yang men-jarh nya, maka yang diutamakan adalah jarh-nya. Apa benar ada kaidah seperti ini njih? Jazakallah khoiron atas jawaban antum

Posting Komentar