12/05/12

MERIAM RAMADHAN VS BEDUG

0



Wah, besok jangan ke masjid sini lagi ya akhi?” Kata kang Abdul Wahab ketika saya ajak shalat ke masjid.
Maksudnya apa kang?” heran juga aku dengar kata kang Abdul, baru beberapa bulan saja dia pergi merantau ke Ibu kota.
Lah itu akhi, ada bedugnya. Nabi Muhammad itu kalo mau shalat hanya menyuruh Adzan saja. Tidak pernah ada satupun riwayat shahih yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad dan para salaf sholih dulu memukul BEDUG sebelum shalat”.

Oh, tentang bedug toh!

Berbicara mengenai bid’ah, sekarang ini kita temui banyak hal-hal yang sudah menjadi kebiasaan muslim Indonesia dan dianggap bid’ah oleh sebagian muslim lain yang tidak sependapat. Diantaranya adalah tentang bedug ini.

Bagi kebanyakan orang islam indonesia pasti tidak asing dengan yang namanya bedug dan kenthongan. Kenthongan biasanya dibunyikan sesaat sebelum masuknya waktu shalat. Ketika akan adzan maka sang muadzin menabuh bedug dahulu. Kita akan temui adanya bedug di kebanyakan masjid-masjid di Nusantara. Dahulu di kampung saya, orang hanya tahu masuknya waktu shalat ketika dengar suara bedug dari masjid. Begitu pula ketika berbuka dan sahur di bulan ramadhan.

SEJARAH BEDUG

 
Bedug senantiasa dikaitkan dengan media panggil peribadatan. Banyak pendapat menganai asal-usul bedug. Ada pendapat yang menyatakan bahwa tradisi bedug berkaitan dengan budaya Cina. Adanya Bedug dikaitkan dengan ekspedisi pasukan Cheng Ho abad ke-15, seorang laksamana utusan kekaisaran Ming yang Muslim. Ada pula pendapat bedug berasal dari tradisi drum Cina yang menyebar ke Asia Timur, kemudian masuk Nusantara.

Namun menurut Drs. M Dwi Cahyono, arkeolog dari Universitas Negeri Malang yang melakukan studi bedug di Jawa bersama tim Sampoerna Hijau, pada masa prasejarah, nenek moyang kita juga sudah mengenal nekara dan moko, sejenis genderang dari perunggu.[1]

Kata Bedug juga sudah disinggung dalam kidung Malat, sebuah karya sastra berbentuk kidung. Susastra kidung berisi cerita-cerita panji. Umunya ditulis pada zaman Mahapahit, dari kurun waktu abad ke 14-16 Masehi. Dalam Kidung Malat dijelaskan, instrumen musik membrafaon bedug dibedakan antara bedug besar yang diberi nama teg-teg dengan bedug ukuran biasa. 

Jadi, bedug bisa dikatakan contoh perwujudan akulturasi budaya waditra (instrumen musik membrafon, di mana secara fisiografis terjadi perpaduan antara waditra membrafon etnik Nusantara dengan wadistra sejenis dari luar seperti India, Cina, dan Timur Tengah.

Pada Muktamarnya yang ke-11 di Banjarmasin Kalimantan Selatan 1936, NU kembali mengukuhkan penggunaan Bedug dan kentongan, bahwa pemakaian kedua alat tersebut di masjid-masjid sangat diperlukan untuk memperbesar syiar Islam.[2]

BEDUG BID’AH?

Sesuatu yang baru berarti bid’ah. Benarkah?.  Bagi sebagian orang yang mengatakan bahwa membunyikan bedug sebagai tanda masuknya waktu shalat adalah bid’ah maka mereka beranggapan bahwa menabuh bedug sama dengan membunyikan lonceng. Disebutkan dalam hadits Abdullah bin Zaid yang melihat dalam tidurmya seseorang yang membawa genderang/lonceng lalu berkata:

“Ya Abdullah (ya fulan) apakah kau jual loncengmu? Dia jawab untuk apa lonceng itu, saya katakan untuk mengajak shalat, dia bilang apakah tidak aku tunjukkan padamu yang lebih bagus dari lonceng itu, saya bilang iya, dia bilang ucapkan: Allahu Akbar Allahu Akbar.”[3]

Beberapa alasan kelompok yang mengharamkan bedug sebelum shalat adalah qiyas bedug dengan lonceng, karena hal tersebut termasuk bertasyabuh dengan kaum kafir.

Memang lonceng identik dengan cara orang nashrani memanggil kaumnya untuk pergi ke masjid. Tapi sepertinya jika bedug diqiyaskan dengan lonceng itu terlalu jauh. Bedug adalah budaya asli indonesia. Dan dalam sejarahnya, islam masuk ke indonesia bukan dengan usaha frontal dan pedang, melainkan dengan proses yang apik dan tanpa paksaan. Sepertinya orang-orang baru dalam islam lebih cenderung menghabisi tradisi-tradisi lokal meskipun tidak ada satu nash-pun yang melarangnya. Sepertinya mereka menganggap bahwa islam harus serba arab, mulai dari pakaian, makanan, bentuk fisik. Seolah islam hanya sekedar teks-teks agama yang harus diterapkan secara literal tanpa kompromi dengan budaya dimana islam itu ada, entah budaya yang bertentangan ataupun tidak.

Ada pula yang beralasan bahwa bedug belum ada pada zaman Nabi. Maka hal itu pasti bid’ah dan tiap bid’ah pasti sesat. Sesimpel itukah memahami agama terakhir ini? agama seluruh penduduk bumi sampai hari akhir.
Bid’ah dalam agama, selalu menjadi pembahasan menarik. Perbedaan definisi kata bid’ah sering kali menjadi pemicu perbedaan pendapat diantara umat islam. yang menganggap bedug itu bid’ah memaknai bid’ah sebagai sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan para shahabat beliau.

Ketika bedug dianggap bid’ah karena Nabi tidak pernah melakukan, pertanyaannya sekarang apakah juga termasuk bid’ah adzan di dalam masjid dan memakai pengeras suara?. Bukankah dahulu adzan itu tidak menggunakan pengeras suara dan di luar masjid di menara?. Membunyikan bedug sama sekali bukanlah ritual agama yang memang tidak boleh ditamba maupun dikurangi. Muhammadiyyah sebagai organisasi yang mengusung jargon anti bid’ah pun ketika menjelaskan tentang bolehnya peringatan isra’ mi’raj meski hal itu tidak ada pada zaman Nabi. Karena bid’ah yang tercela adalah yang bersifat ta’abbudi. Dan peringatan isra’ mi’raj dibolehkan karena bukan dalam kategori umur ta’abbudi.[4]

BEDUG DAN MERIAM RAMADHAN

Ketika masuk bulan ramadhan, di Arab Saudi seperti dilansir situs alriyadh.com dikenal yang namanya “مدفع رمضان : meriam ramadhan”. Meriam ini hanya di operasikan di bulan ramadhan, Fungsi nya adalah sebagai tanda:
- Masuk nya bulan Ramadhan, dibunyikan tujuh kali
- Masuk nya waktu berbuka puasa, dibunyikan sekali
- Tanda waktu sahur, dibunyikan sekali
- Tibanya waktu imsaak, dibunyikan dua kali
- Masuk nya tanggal 1 syawal, berkali-kali. Jadi meriam ini berbunyi sekitar 150 kali dalam satu bulan ramadhan penuh setiap tahunnya.[5]

Sehingga meriam ini senantiasa menggelegar disetiap hari nya di bulan puasa. Meriam ini di taruh disebuah gunung yang posisi nya dekat sekali dengan Masjidil Haram, yaitu disebuah gunung yang akhir nya diberi nama   جبل أبو مدافع  Gunung Meriam.  Setelah selesai, dikembalikan lagi di tempat semula di daerah AZIZIYAH hingga Ramadhan lagi tiba.
Pertanyaannya, bid’ahkah MERIAM RAMADHAN ini?. saya kira ini hanya wasilah saja agar orang datang ke masjid.

Ulama’ dahulu memang sangat kreatif dalam berdakwah. Mereka memikirkan bagaimana caranya agar orang-orang bisa datang dan sholat dahulu di masjid. Bukan malah sebaliknya. Membenarkan yang salah bukan hanya menyalahkan dengan merasa paling benar. Menasehati bukan menggurui. Sebagaimana para Wali songo dahulu. Dakwah butuh hikmah dan mauidzoh hasanah. 
Wallahu A'lamu bisshowab.

Oleh : Luthfi Abdu Robbihi
Rumah Fiqih Indonesia

Footnote:
[1] Ensiklopedia Nasional Indonesia Jilid III, (Jakarta, PT. Cipta Adi Pustaka: 1988)

[2]http://www.nu.or.id/page/id/dinamic_detil/7/8240/Fragmen/Upaya_NU_dalam_Melestarikan_Beduk.html

[3] HR. Abu Dawud 421, Tirmidzi 174, al-Bukhari dalam Khalq Af’al al-Ibad, ad-Darimi (1187), Ibnu Majah (706), Ibnu Jarud, ad-Daruquthni, al-Baihaqi, dan Ahmad (16043-redaksi di atas). At-Tirmidzi berkata: “Ini hadits hasan shahih”. Juga dishahihkan oleh jamaah imam ahli hadits, seperti al-Bukhari, adz-Dzahabi, an-Nawawi, dan yang lainnya.

[4] Mengenai masalah bid’ah  ini  pernah  dijelaskan  dan  dimuat  dalam majalah Suara Muhammadiyah No. 11 Th. ke­87 Juni 2002, No. 11 Th. ke­88 Juni 2003, dan No22  Th.  ke­88  November  2003.

[5] http://www.alriyadh.com/2011/07/31/article655373.html

0 komentar:

Posting Komentar