09/05/12

HUKUM WANITA MENJADI IMAM SHOLAT LAKI-LAKI

0




PROLOG

Tiba-tiba masyarakat muslim dunia menjadi gempar, tersiar kabar bahwa seorang wanita bernama Amina Wadud, profesor tamu di jurusan studi Islam, Virginia Commonwealth University AS telah mengimami shalat Jumat dan berkhotbah di New York sekitar tahun 2005-an[1]. Sholat jum’at ini berlangsung di gereja Anglikan, Manhattan, New York, AS yang shafnya pun campur antara laki-laki dan perempuan. Iya, dialah salah seorang tokoh panutan para pegiat isu Feminisme yang Oleh Luthfi Assyaukanie, Amina Wadud disebut sebagai srikandi-srikandi Islam yang layak menjadi role-model bagi perempuan Muslim di dunia modern.[2]

Isu feminisme memang sedang hangat dibicarakan dan digembor-gemborkan oleh para pegiatnya. Jika maksud dari feminisme adalah memerdekakan wanita dari segala bentuk kedzaliman, tentu itu tindakan yang baik. Dan itulah misi islam semenjak muncul berpuluh abad yang lalu. Tapi nyatanya feminisme telah diarahkan untuk menghancurkan sendi-sendi islam dan menggugatnya karena beranggapan bahwa ada ketidak adilan dalam islam kepada wanita.

Menariknya, tak sedikit para pegiat femisime mencari legitimasi hadits-hadits Nabi atau pendapat para Ulama’ klasik untuk membenarkan apa yang mereka perjuangkan. Pembahasan kita kali ini terkhusus kepada kasus, boleh tidaknya wanita menjadi imam sholat laki-laki.

BERTANYALAH PADA AHLINYA

Tentunya ini bukan masalah yang sepele. Karena menyangkut hukum islam antara halal dan haram. Lalu kepada siapa kita harus bertanya?. Pasti jawabnya: bertanyalah pada ahlinya. Sebagaimana firman Allah:

فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ﴾ [النحل:43][3]

Artinya: "Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui."

Siapakah orang yang tahu itu? Pastinya Ulama’ muslim yang telah mengabdikan seluruh hidupnya demi agama, Cendikiawan muslim yang memang tulus dalam memahami syariat agama islam ini. Bukan dari mereka yang memang belajar islam ingin karena sifat iri dan dengki terhadap islam, belajar islam hanya ingin merusaknya. Apalagi dari orang kafir yang tak pernah rela terhadap orang-orang islam sampai orang-orang islam akan mengikuti agama kafir mereka.

IJMA’ ULAMA

Umat islam sejak zaman nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam sampai sekarang sepakat bahwa seorang wanita tidaklah sah menjadi khatib dalam khutbah jum’at, menjadi imam sholat jum’at baik makmumnya laki-laki, perempuan ataupun campuran antara laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Ulama’ juga sepakat bahwa wanita tidaklah wajib sholat jum’at. Tetapi jika mereka dating ikut sholat bersama imam, maka sah sholatnya dan tidak perlu mengulang sholat dzuhur. Sebagaimana dikemukakan Ibnu Mundzir dalam kitabnya.[4]

Dalam sejarah islam, sejak awal kemunculan sampai sekarang  pun tak pernah ada riwayat yang menceritakan pernah ada seorang wanita yang menjadi khatib dan imam dalam shalat jum’at.

HUKUM WANITA MENJADI IMAM SHOLAT LAKI-LAKI

Secara garis besar, ada beberapa pendapat Ulama’ mengenai hal ini:

1. Pendapat jumhur Ulama’: Seorang laki-laki tidaklah sah sholat makmum kepada seorang wanita, baik dalam sholat fardhu maupun sholat sunnah.

2. Pendapat yang dinisbatkan kepada Abu Tsaur dan Ibnu Jarir At Thobari bahwa wanita boleh  menjadi imam laki-laki dalam sholat tarawih jika tidak ada yang bagus bacaan Qur’annya selain dia[5]. Imam Nawawi[6] dan Ibnu Rusyd[7] manukil bahwa Imam Abu Tsaur dan At Thobari membolehkan wanita menjadi imam sholat secara muthlaq. Ulama’ mengatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang syadz.

PENDAPAT PERTAMA: JUMHUR

Sesungguhnya hampir semua Ulama’ muslim dan para fuqaha’ madzhab yang diikuti oleh seluruh umat islam telah sepakat bahwa haram hukumnya seorang wanita menjadi imam sholat laki-laki dan tidak sah sholatnya. Berikut diantara perkataan para Ulama’:
  • Hanafiyyah.
As Syarkhasi menyebutkan dalam kitabnya[8] bahwa wanita tidaklah pantas menjadi imam sholat laki-laki. Dia menyebutkan dalam bagian fiqih Ibadah bahwa tidak sah imam seorang wanita untuk laki-laki baik dalam sholat fardhu maupun sholat sunnah. Ibnu Abidin juga menyebutkan dalam kitabnya[9] Roddul Mukhtar bahwa, tidak sah makmum laki-laki kepada wanita.
  • Malikiyyah.
Ibnu Rusyd Al Hafid dalam kitab Bidayatul Mujtahid menyebutkan bahwa madzhabnya adalah sebagaimana madhzhab Syafi’iyyah, Hanabilah, Hanafiyyah dan Malikyyah yaitu seorang wanita tidak boleh menjadi imam sholat bagi laki-laki[10]. Dan dalam kitab Al Fawakih Ad Dawani  disebutkan bahwa batal sholat laki-laki jika makmum di belakang wanita.[11]
  • Syafi’iyyah.
Imam Syafi’i berkata, jika wanita sholat menjadi imam laki-laki, wanita dan anak laki-laki maka sholat wanitanya sah dan tidak sah sholat laki-laki dan anak laki-laki. Tidak boleh wanita sholat di depan laki-laki selamanya.[12]
Al Qoffal As Syasyi berkata bahwa tidak sah makmun sholat seorang laki-laki dibelakang wanita.[13]

Bahkan Imam Nawawi mengatakan bahwa syafi’iyyah sepakat tentang hal ini[14]. Baik dalam shalat fardhu, tarawih maupun sholat sunnah yang lain. Jika saja ada seorang laki-laki yang makmun kepada seorang wanita karena tidak tahu, maka ketika tahu bahwa imamnya adalah wanita maka wajib mengulangi sholat.
  • Hanabilah.
Ibnu Quddamah berkata, tidaklah sah sholat makmun di belakang wanita. Dan ini pendapat yang shahih dari madzhab ini[15].Al Mardawi berkata, tidak sah imam seorang wanita kepada laki-laki secara muthlak[16]. Maka dari itu, wajib mengganti sholat bagi laki-laki jika ternyata imamnya adalah seorang wanita.
  • Dhohiriyyah.
Ibnu Hazm[17] berkata, tidak boleh wanita menjadi imam laki-laki, dan tidak ada khilaf dalam masalah ini. Dalam nash hadits disebutkan bahwa sholat seorang laki-laki bias jadi batal ketika ada seorang wanita lewat di depannya.
Inilah pendapat Jumhur Fuqoha’ dari beberapa madzhab islam.

Dalil Jumhur adalah sebagai berikut:
  • Dalil Pertama: Hadist Abu Hurairah yang berbunyi:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها.
Artinya: ”Sebaik-baik shof laki-laki adalah paling awal, dan sejelek-jeleknya adalah shof yang terakhir. Dan sebaik-baik shof perempuan adalah paling terakhir , sedang sejelek-jeleknya adalah yang palin awal.” ( HR Muslim )[18].

Hadist di atas menunjukkan bahwa perempuan yang menjadi imam sholat untuk laki-laki berarti telah meletakkan dirinya pada shof yang paling jelek, bahkan para ulama menyatakan jika shof laki-laki sejajar dengan shof perempuan , maka tidak syah sholatnya, apalagi kalau berdiri di depan laki-laki.
  • Dalil Kedua: Riwayat yang menyebutkan:
أخروهن من حيث أخرهن الله سبحانه
Artinya: “ Akhirkanlah mereka ( perempuan ) dalam shof, sebagaimana Allah mengakhirkan mereka.”[19]
  • Dalil Ketiga: Riwayat yang menyebutkan:
لا تؤمن امرأة رجلا
Artinya: “ Janganlah seorang perempuan menjadi imam sholat bagi laki-laki.“[20]
  • Dalil Keempat: Seandainya seorang perempuan dibolehkan menjadi imam laki-laki, tentunya akan ada riwayat, walaupun hanya satu yang menyatakan hal itu, akan tetapi tidak ada satu riwayatpun yang menceritakan bahwa perempuan pada zaman dahulu menjadi imam laki-laki dalam sholat.[21]
PENDAPAT KEDUA: DINISBATKAN KEPADA ABU TSAUR, MUZANI DAN AT THABARI

Pendapat yang membolehkan wanita menjadi imam sholat laki-laki sebenarnya adalah pendapat Syadzyang dinisbatkan kepada Abu Tsaur, Muzani dan At Thobari. Mereka mendasarkan pendapatnya dari dalil hadits Nabi ketika berkunjung ke rumah Ummi Waraqah.

NASH HADITS

Paling tidak, inilah hadits yang paling masyhur ketika membahas isu feminisme khususnya tentang kebolehan wanita menjadi imam sholat  laki-laki.

ما رواه أبو داود والدارقطني والبيهقي وغيرهم عن أم ورقة " أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم -كان يزورها في بيتها
وجعل لها مؤذناً يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها ".

Artinya: "Dari Ummi waraqah berkata bahwa Rasulullah telah mengunjunginya di rumahnya, beliau menjadikan seorang muadzzin untuk beradzan untuknya dan memerintahkan ummi waraqah untuk menjadi imam anggota keluarganya."

Hadits ini diriwayatkan oleh banyak rawi, diantaranya Abu Daud, Daraquthni, Baihaqi dan lainnya.

TAKHRIJ HADITS

Hadits ini mempunyai banyak riwayat, tetapi semuanya bertemu kepada satu orang rawi yaitu Al Walid Bin Jami’. Inilah beberapa jalan haditsnya:

1. Abu Daud meriwayatkan dari Al Walid Bin Jami’ dari Abdurrahman Bin Khallad Dari Ummi waraqah dengan lafadz:
[وكان رسول الله - صلى الله عليه وسلم - يزورها في بيتها وجعل لها مؤذناً يؤذن لها وأمرها أن تؤم أهل دارها "[22

Abdurrahman berkata, saya melihat bahwa muadzinnya adalah orang tua.

2. Ad Daraquthni meriwayatkan dari Al Walid Bin Jami’ dari Ibunya dari Ummi Waraqah dengan lafadz:
" [أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أذِن لها أن يؤذن لها ويقام وتؤم نساءها "[23
Bahwa rasulullah mengijinkan ummi waraqah untuk mengimami para perempuan di rumahnya

3. Ad Darquthni dan Baihaqi meriwayatkan dari Al Walid bin Jami’ bahwa neneknya menceritakan dari ummi waraqah dengan lafadz:

[أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - أذن لها أن تؤم أهل دارها"[24

4. Abu Daud meriwayatkan dari Al walid Bin Abdillah Bin Jami’, dia berkata bahwa neneknya dan Abdurrahman Bin Khallad menceritakan dari Ummi waraqah dengan lafadz:


[وكانت قد قرأت القرآن فاستأذنت النبي - صلى الله عليه وسلم - أن تتخذ في دارها مؤذناً فأذن لها "[25

5. Al Hakim dan Baihaqi menceritakan dari Al Walid bin Jami’ dari Laila Binti Malik dari Abdurrahman Bin Khalid al Anshari dari Ummi Waraqah dengan lafadz:

أن رسول الله - صلى الله عليه وسلم - " كان أمر أن يؤذن لها ويقام وتؤم أهل دارها في الفرائض "[26

PARA PERAWI HADITS

Adapun para rawi dari hadits diatas adalah:
1. Al Walid bin Abdullah bin Jami’ Az Zuhri Al Kufi
    Bukhori meriwayatkan dari beliau dalam kitab Al Adab Al Mufrad, Muslim, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasa’i. Abu Daud dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata dari ayahnya: rawi ini tidak apa-apa. Yahya bin Manshur dari Yahya bin Manshur dari Yahya bin Ma’in berkata: rawi ini tsiqah. Sebagaimana Ibnu Hajar dalam kitab taqrib at Tahdzib berkata: dia rawi yang shaduq[27].

    2. Abdurrahman bin Khallad Al Anshari
    Ibnu hibban menyebut namanya dalam kitab At Tsiqat[28]. Tapi Ibnu Qatthan menyebutkan bahwa keadaannya majhul[29]. Ibnu Hajar menyebutkan hadits ini dalam kitabnya At Talkhish Al Habir[30] dan berkata: di dalam sanadnya ada Abdurrahman bin Khallad dan dia majhul.

    3. Laila binti Malik
    Ibnu Hajar dalam kitab Taqribu At Tahdzib bahwa dia tidak dikenal.[31]

    4. Ummu Waraqah
    Seorang Shahabiyyat yang oleh Nabi digelari sebagai sang syahidah, dia termasuk para wanita dari kalangan Anshar.

    DERAJAT HADITS

    Az Zailaghi dalam kitabnya Nushbu Ar Rayah[32] cenderung menshahihkannya, sebagaimana Al Hakim dalam Al Mustadrak[33] dan disepakati Ad Dzahabi, As Syaukani dalam kitab As Sailul Jarrar[34] dan juga Al-Albani[35].
    Tetapi Ibnu Hajar lebih cenderung mendhoifkannya[36] sebagaimana Ibnu Al Mulaqqan dalam kitab Al badru Al Munir[37].

    JAWABAN JUMHUR TERHADAP HADITS UMMI WARAQAH
    • Pertama:
    Dalam hadist ummi waraqah disebutkan bahwa Rasulullah menyuruhnya untuk menjadi imam bagi orang-orang di rumahnya, dan tidak dijelaskan siapa saja yang di rumahnya. Kemudian didapatkan dalam riwayat Ad Daruqutni bahwa yang dimaksud orang-orang yang di rumahnya adalah orang-orang perempuan.

    Sebagaimana perkataan Ibnu Quddamah dalam Al Mughni[38]. Beliau mengatakan bahwa tambahan lafadz ini bisa diterima. Adapun sholat yang dijalankan oleh Ummi Waraqah adalah sholat fardlu, karena adzan hanya disyariatkan untuk sholat fardhu. Jika saja memang hadits ini shahih, maka kejadian ini adalah khusus kepada Ummi Waraqah, karena Nabi tidak mensyariatkan adzan bagi jama’ah wanita. Adapun lafadhnya adalah sebagai berikut :

    أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أذن لها أن يؤذن ويقام، وتؤم نساءها
    Bahwasanya Rosulullah saw mengijinkan baginya ( Ummu Waraqah ) untuk dilaksanakan adzan dan iqamat di rumahnya, serta diijinkan untuk menjadi imam bagi orang-orang perempuan.” ( HR Daruqutni )
    • Kedua:
    Keshahihan hadits Ummi Waraqah masih diperselisihkan oleh para ulama’ hadits. Banyak para ulama hadist yang menyatakan bahwa hadist Ummu Waraqah di atas di dalamnya ada rowi bermasalah, yaitu Walid bin Jami’. Berkata Al Mundziri dalam Mukhtashor: ”Al Walid bin Jami’ adalah orang yang bermasalah, tetapi Imam Muslim menyebutkan hadist darinya.” Sebagaimana Ibnu Hajar lebih cenderung mendhoifkannya[39] sebagaimana Ibnu Al Mulaqqan dalam kitab Al badru Al Munir[40].
    • Ketiga:
    Tidak ada hadist atau atsar satupun yang menyebutkan seorang perempuan menjadi imam sholat kecuali hadist Ummu Waraqah, itupun sanadnya bermasalah, dan kemungkinan besar yang menjadi makmum adalah perempuan juga, sebagaimana yang diterangkan di atas.

    BENARKAH PENISBATANAN PENDAPAT KEDUA KEPADA ABU TSAUR, MUZANI DAN THOBARY?

    Banyak kalangan menisbatkan pendapat ini kepada Abu Tsaur, Muzani dan Thobary. Bahkan Imam Nawawi[41] dan Ibnu Rusyd[42] juga menukil bahwa Imam Abu Tsaur dan At Thobari membolehkan wanita menjadi imam sholat secara muthlaq.

    Maka para pegiat feminisme pendukung kebolehan wanita menjadi imam laki-laki mengatakan bahwa ini adalah masalah khilafiyyah dan ijtihadiyah, oleh karenanya boleh-boleh saja memilih salah satu dari dua pendapat tersebut. Meraka berdalih, disana ada beberapa ulama yang membolehkan seorang perempuan menjadi imam laki-laki, seperti: Abu Tsaur, Muzani dan Thobary.

    Jawabannya :

    Pertama: Riwayat yang mengatakan bahwa Abu Tsaur, Muzani dan Thobary membolehkan wanita menjadi imam sholat bagi laki-laki harusnya dicek ulang. Benarkah memang seperti itu. Meskipun riwayat itu dinukil oleh beberapa Ulama’ seperti Nawawi dan Ibn Rusyd karena itu merupakan data sekunder dan harus dicari di kitab manakah Ulama’ tadi mengatakan tersebut.

    Adapun penisbatan bolehnya imam wanita menjadi imam laki-laki maka karena adanya kesalahan atau kekurang telitian. Imam Muzani (wafat: 260) yang bernama lengkap Abu Ibrahim Isma'il bin Yahya bin Isma'il bin 'Amr bin Ishaq al-Muzani. Ia adalah imam besar yang sangat gigih membela mazhab Syafi'i. Gurunya: Syafi'i, Nu'aim bin Hammad, dan lainnya. Muridnya: Ibnu Khuzaimah, ath-Thahawi, Zakariya as-Saji, Ibnu Hawsha', Ibnu Abi Hatim, dan lainnya. Bahkan oleh oleh Imam Syafi’i menyebut Muzani sebagai “Penolong Madzhabku”.

    Beliaulah yang meringkas pendapat-pendapat Imam Syafi’i dalam kitabnya yang dikenal dengan namaMukhtashar. Imam Muzani berkata dalam kitab mukhtasharnya: Qiyas bahwa setiap orang yang sholat dibelakang orang yang sedang junub, wanita, orang gila, dan kafir maka sholatnya sah, selama si makmum belum mengetahui keadaan imam.[43]

    Imam Muzani mengatakan sah sholat laki-laki dibelakang imam wanita jika si makmum tidak mengetahui keadaan imam, diqiyaskan dengan makmum dengan imam yang junub. Imam Muzani termasuk ashab syafi’i generasi pertama dan sangat sedikit berbeda pendapat dengan Imam Syafi’i. Adapun menurut Jumhur Syafi’iyyah maka wajib mengulangi sholat, sebagaiman terdapat pada kitab Al Wasith milik imam Ghozali.[44]

    Sebagaimana Imam As Subki ketika membicarakan Imam Muzani dalam kitabnya thabaqat As Syafi’iyyah[45]. Beliau tidak menyebutkan bahwa Imam Muzani telah menyelisihi Imam Syafi’i dalam masalah ini. Padahal Imam As Subki telah menyebutkan beberapa masalah dari Imam Muzani yang menyelisihi pendapat Imam Syafi’i.

    Adapun penisbatan kepada Abu Tsaur juga belum ditemukan secara pasti, dimakah Abu Tsaur mengatakan bolehnya wanita menjadi imam sholat laki-laki. Abu Tsaur yang bernama lengkap Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid bin Yaman al-Kalabi al-Bagdadi (wafat: 240 H). Beliau termasuk Ashab Syafi’i dari kawasan Irak. Imam As Subki dalam kitabnya[46] tidak menyebutkan bahwa Abu Tsaur telah menyelisihi Imam Syafi’i dalam masalah ini.

    Sebagaimana juga Imam Thobari (wafat: 310 H), beliau bernama lengakap Abu Ja’far Muhammad Ibnu Ja’far Ibnu Yazid Ibnu Katsir Ibnu Ghalib at-Tabari. Kebanyakan para Ulama’ ketika menukil pendapat Muzani, Abu Tsaur maupun At Thabari menggunakan redaksi “hukiya”  atau “Syaddza” tanpa menyebutkan di kitab mana para Ulama’ tadi mengemukakan pendapatnya.

    Kedua: Seandainya riwayat tersebut benar, maka yang mereka maksud adalah perempuan menjadi Imam bagi anggota keluarganya di rumahnya, ataupun menjadi imam bagi perempuan lainnya, sebagaimana dalam hadist Ummu Waraqah di atas. Dari situ diketahui bahwa tidak ada satu ulamapun yang mengatakan boleh bagi seorang wanita menjadi imam dan khotib Jum’at atau ditempat-tempat umum lainnya sebagaimana yang dilakukan oleh Aminah Wadud beserta pengikutnya.

    Ketiga: Sepanjang sejarah Islam, tidak didapatkan satu peristiwa terekam yang menyebutkan seorang perempuan menjadi Imam bagi laki-laki, apalagi di masjid-masjid dan tempat-tempat umum, kecuali hadist Ummu Waraqah di atas yang sudah di bahas sisi-sisinya.

    Keempat: Sebenarnya masalahnya bukan masalah khilafiyah atau adanya pendapat dari sebagian ulama tentang masalah ini, akan tetapi pendapat yang membolehkan wanita menjadi imam sholat bagi laki-laki adalah pendapat syadz. Dan tidak boleh bagi kaum muslim mengambil pendapat syadz padahal jumhur telah berijma’.

    EPILOG

    Sesungguhnya hampir semua Ulama’ muslim dan para fuqaha’ madzhab yang diikuti oleh seluruh umat islam telah sepakat bahwa haram hukumnya seorang wanita menjadi imam sholat laki-laki dan tidak sah sholatnya. Sesungguhnya wanita muslimah memiliki kedudukan yang tinggi dalam Islam dan pengaruh yang besar dalam kehidupan setiap muslim.
    Dia akan menjadi madrasah pertama dalam membangun masyarakat yang shalih, tatkala dia berjalan di atas petunjuk Al-Qur’an dan sunnah Nabi. Karena berpegang dengan keduanya akan menjauhkan setiap muslim dan muslimah dari kesesatan dalam segala hal.

    Memerdekakan wanita pastinya tidak hanya dengan menjadikannya imam dalam sholat saja. Al qur’an sendiri tidak mengajarkan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan sebagai manusia. Di hadapan Allah laki-laki dan perempuan mempunyai derajat dan kedudukan yang sama. Yang membedakan hanyalah tingkat ketakwaan mereka. Namun diantara keduanya ada batasan-batasan yang tidak semua wanita bisa melakukan seperti apa yang dilakukan oleh laki-laki, begitu juga sebaliknya.

    WaAllahu a'lamu bis showab

    Footnote:

    [1] http://news.bbc.co.uk/2/hi/americas/4361931.stm

    [2] http://islamlib.com/id/artikel/dua-amina

    [3] QS. An Nahl: 43, Ahli Dzikr oleh para mufassirin dimaknai sebagai orang yang mempunyai pengetahuan akan agama

    [4] Al Ausath: Ibnu Mundzir, Hal. 3/16

    [5] As Syaukani: Nailul Authar, Hal: 3/199 dan Saifuddin Bin Abu Bakar As Syasyi: Hilyatul Ulama’, Hal. 2/170

    [6] Al Majmu’: An Nawawi, Hal. 4/223

    [7] Bidayatul Mujtahid: Ibnu Rusyd, Hal. 1/227

    [8] Al mabsuth: Syarkhasi, Hal. 1/179

    [9] Roddul Mukhtar: Ibnu Abidin, Hal. 1/577

    [10] Bidayatul Mujtahid: Ibnu Rusyd, Hal. 1/109

    [11] Al Fawakih Ad Dawani, Hal. 1/205

    [12] Al Umm: As Syafi’i, Hal. 1/191

    [13] Hilyatul Ulama’: Al Qoffal, Hal. 2/170

    [14] Al Mjmu’: An Nawani, Hal. 4/223

    [15] Al Mubdi’ syarh Muqni’: Ibnu Muflih, Hal. 2/72

    [16] Al Inshaf: Mardawi, Hal: 2/263

    [17] Al Muhalla: Ibnu Hazm, Hal. 3/125

    [18] HR. Muslim dalam kitab Sholat, bab meyamakan shaf, No. 664

    [19] Hadist di atas adalah hadist mauquf, dari perkataan Ibnu Mas’ud , akan tetapi sanadnya shohih sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdur- Rozaq dalam Al Mushonaf. Lihat: Al Mu’jam Al kabir: At Thabrani, Hal 8/234, Shahih Ibnu Huzaimah, Hal. 6/279 No. 1606

    [20] HR Ibnu Majah no: 1081, Berkata Al Hafidh Ibnu Hajar: ”Sanadnya lemah”. Di dalamnya ada Abdullah bin Muhammad Al Adawy, yang oleh Al Waki’ dituduh sebagai orang yang suka memalsukan hadist, syeikhnya juga lemah.

    [21] Bidayatul Mujtahid, Hal. 1/227

    [22] Sunan Abi Daud, Hal. 2/206 No. 500

    [23] Sunan Daraquthni, Hal. 3/194 No. 1094

    [24] Sunan Daraquthni, Hal. 4/180 No. 1524 dan Sunan Baihaqi Al Kubro, Hal. 3/130

    [25] Sunan Abi Daud, Hal. 2/206

    [26] Al Mustadrak ala as Shahihain: Al Hakim, Hal. 2/235, No. 687

    [27] Taqribu at Athdzib: Ibnu Hajar Al Asqalani, Hal. 1/582

    [28] Tahdzibul Kamal: Al Hafidz Al Mizziy, Hal. 17/82

    [29] Tahdzibu At Tahdzib: Ibnu Hajar Al Asqalani, Hal. 6/153

    [30] At Talkhish Al Habir: Ibnu Hajar Al Asqalani, Hal. 2/27

    [31] Taqribu At Tahdzib, Hal. 1/763

    [32] Nushbu Ar Rayah, Hal. 2/21

    [33] Al Mustadrak, Hal. 1/320

    [34] As Sailu Al jarrar: As Syaukani, Hal. 1/251

    [35] Irwa’ Al Ghalil: Al Albani, Hal. 2/256

    [36] At Talkhish Al habir, Hal. 2/27

    [37] Al badru Al Munir: Ibnu Mulaqqan, Hal. 4/392

    [38] Al Mughni: Ibnu Quddamah, Hal. 2/16

    [39] At Talkhish Al habir, Hal. 2/27

    [40] Al badru Al Munir: Ibnu Mulaqqan, Hal. 4/392

    [41] Al Majmu’: An Nawawi, Hal. 4/223

    [42] Bidayatul Mujtahid: Ibnu Rusyd, Hal. 1/227

    [43] Al Mukhtashar ala hamisy kitabil Um: muzani, Hal. 145

    [44] Al Wasith: Al Ghozali, Hal. 2/702

    [45] Thabaqat As Syafi’iyyah: As Subki, Hal. 1/238

    [46] Tabaqat As Syafi’iyyah: As Subki, Hal. 1/227

    0 komentar:

    Posting Komentar