15/05/12

NGAJI KITAB "TA'LIMUL MUTA'ALLIM" era digital

4




*apa bedanya santri dahulu dengan sekarang?


“Bismillahi kelawan nyebut asma Allah, Arrohmani kang welas asih ingdalem donyo lan akherat, Arrohimi kang welas asih ingdalem akhirat beloko.”

Suara penuh keikhlasan itu, selalu teringiang sampai sekarang. Suara khas pak kiyaiku zaman baheula kala ngaji di Langgar [musholla kampung]. Anak-anak duduk bersila menghadap sang kiyai yang asyik bergelut mengarungi alam pemikiran sang pengarang kitab kuning. dengan teliti dan telaten, kiyaiku memaknai satu kalimat per-kalimat. Memaknainya pun tak sekedar menterjemahkan belaka. Tetapi sekaligus dibaca kedudukan katanya [tarkib] dalam sebuah kalimat. 


Sungguh luar biasa sekali! Itulah orang desa saya menyebutnya dengan “ngaji bandongan”. Istilah yang cukup terkenal mungkin dalam dunia pesantren. Santri-santri dengan telaten menuliskan setiap kata yang dibaca kiyainya. Menulis dengan mangsi tutul [pen tinta, biasanya tinta ditaruh di suatu wadah kuningan yang dalamnya ada serat kedebog pisang, cara memakainya dengan menutulkan mata pena ke dalam tempat tinta tadi]. Kata kyai; “yan maknai sing komplit le. Mengko nak wis gedhe gentenan kowe sing moco. Karo tulisanmu sing apik lan gedhe”. Kalo memberi makna yang komplit ya! Nanti kalo sudah kamu besar, giliran kamu yang aka baca ke santri-santrimu. Begitulah pesan kiyaiku. 

Sebuah pesan yang saya rasa cukup susah untuk dilaksanakan sekarang. Susah bukan karena membacanya, tetapi “siapakah yang akan mau mengaji dengan metode yang akan memakan waktu cukup lama itu, metode yang dirasa sekarang sudah jadul dan tidak relevan lagi [bagi sebagian pihak]. 

PESAN KIYAI DAN TANTANGAN ZAMAN

Mengingat pesan kiyai dahulu, rasanya sekarang akan mengalami banyak tantangan. Ngaji kitab secara “Bandongan” bukan hanya sekedar transfer ilmu belaka. Ngaji santri dahulu adalah representasi dari kesabaran yang sungguh luar biasa sekali. Dari segi waktu, santri setiap hari harus duduk bersila berjam-jam untuk memaknai kitab yang “Gundul” itu dengan sabar dan telaten. Jika ada makna yang tertinggal, maka setelah mengaji ada istilah “menambal” yaitu menambahi makna yang ketinggalan dari kiyai. 

Untuk menghatamkan satu kitab saja diperlukan waktu berbulan-bulan. Dulu saya pernah mengaji tafsir Al-Jalalain karya agung dua Imam Jalal, Al-Suyuti dan Al-mahalli selama hampir 2 tahun yang dibaca 3 kali seminggu setiap habis shubuh sampai pukul 06.00. 

Pernah suatu ketika ke toko kitab melihat kitab al-Majmu’ karya Imam Nawawi, saya geleng-geleng ga bisa membayangkan. “Berapa tahunkah saya bisa menghatamkan membaca kitab itu dengan bandongan?”. Pemahaman saya dahulu kitab hanya bisa dipahami dengan dibaca dengan bandongan.

Ketika menengok lagi di zaman sekarang, apakah ada santri yang se-sabar itu?. Kalo ada sungguh tidak diragukan lagi kesabaran sang santri tadi. 

ZAMAN SERBA INSTAN

Zaman sekarang bisa dibilang zaman instan, cepat saji, plug and play, anti lelet. Semua berlomba adu cepat. Kemajuan ini merupakan sebuah anuegrah yang kita tidak bisa pungkiri. 

Tapi sisi lain dari itu semua adalah “Krisis kesabaran”. Pejabat tidak sabar pengen kaya lantas korupsi. Pelajar pengen cepet masuk kuliyah kampus favorit lantas nyogok. Pengguna jalan raya pengen cepet nyampai rumah lantas serobot sana-sini, klakson sana-sini. Anak muda pengen cepet menikah lantas menghamili pacarnya duluan. Pegawai pengen cepet naik gaji lantas main belakang dengan bos.

Krisis ini juga yang melanda para penuntut ilmu sekarang. pastinya tidak asing lagi kita baca iklan, “Metode belajar membaca Al-Qur’an selama satu jam langsung lancar”. “Metode membaca kitab kuning sistem 20 jam”. “Metode belajar lulus Ujian Nasional dalam waktu sekejap”. Super sekali iklannya, tak jauh beda dengan iklan pengurus atau peninggi badan, ikalan pemutih warna kulit. Bagus memang telah dilakukan trobosan spektakuler sehingga belajar tidak perlu buang-buang umur. 

Tapi, pertanyaannya apakah tujuan dari pembelajaran tadi? Apakah Cuma sekedar transfer ilmu layaknya transfer data dari komputer ke flashdisk atau lebih dari itu, membentuk kepribadian orang yang diajar?.

BAGAIMANA SANTRI DULU

Kata “santri” sebenarnya tidak hanya merujuk kepada mereka yang tiap hari mengenakan sarung, baju koko dan peci. Atau mereka yang selalu duduk di samping kiyai untuk mendengarkan petuah agama. Setipa orang yang sedang dalam proses memahami sesuatu hal itulah yang disebut dengan santri. Ada santri yang sedang belajar di bangku SMP, SMA, SMK. Ada santri yang sedang mendengarkan petuah dosen di bangku kuliyah. Ada juga yang sedang menulis Tesis dan Disertasi Doktoral. Mereka semua sejatinya adalah santri yang sedang dalam proses memahami sesuatu hal.

Berbicara santri zaman dahulu, kita akan menemui kata yang mungkin sekarang jarang kita dengar, “Takdzim kepada guru”. Itulah masterpiece santri zaman dahulu. hubungan kiyai dengan santri zaman dahulu bukanlah hanya sekedar guru dengan murid yang bertemu bersama dalam sebuah ruangan sempit di sebut kelas. Ruang kelas pembelajaran kiyai-santri adalah hamparan luas bumi serta langit. Buku ajar kiyai dan santri tidak hanya sebatas kertas berisi tulisan-tulisan, melainkan materi ajarnya adalah bumi dan langit beserta isinya. 

Takdzim santri zaman dahulu memang tidak diragukan. Dalam kalangan santri, kiyai adalah pusat dari peredaran sebuah galaksi hidup santri. Hal ini tidak bisa dimaknai sebagai “menuhankan kiyai”. Kalo ada yang menulis “ketika kiyai dipertuhankan” barangkali sang penulis melihatnya dalam kaca mata lain. Atau memang penulis sudah tidak suka dengan kiyai. Penghormatan santri kepada kiyai adalah murni dari keikhlasan santri untuk “ngalap berkah” dari kiyai. Ngalap berkah bukan dimaknai sebagai menyembah kiyai, jangan salah arti. Itu sebagaimana para shahabat yang mereka selalu “ngalap berkah” dari Nabi. Mereka bahkan hampir saling bunuh karena memperebutkan sisa air wudlu Nabi. 

Ketika dirunut kebelakang, mengapa santri dahulu begitu hormat kepada kiyai?. Menurut pengamatana saya pribadi ternyata hal tersebut didasari dari apa yang santri kaji ketika mereka pertama kali kenal dengan kiyai. Sebuah kitab fenomenal yang bisa dibilang materi wajib dalam dunia santri. Kitab itu namanya kitab “Ta’limul muta’allim Thoriqa al-Ta’allum” karya Syekh Az-Zarnuji. 

KITAB TA’LIMUL MUTA’ALLIM YANG FENOMENAL

Kitab TA'LIM MUTA'ALIM, yang disusun dan di karang oleh Syekh Az-Zarnuji, merupaka kitab dan acuhan sekaligus bimbingan bagi seorang penuntut ilmu agar mendapatkan ilmu yang bermamfaat bagi dirinya pada khusussnya dan masyarakat pada umumnya.

Inilah yang mendasari sikap dan pandangan santri kepada kiyainya. Sungguh luar biasa sekali para kiyai dahulu menyusun kurikulum pembelajaran. Sebelum santri belajar banyak tentang cabang ilmu agama lain, kitab inilah yang pertama kai dikenalkan.

Berbeda dangan santri zaman sekarang. tak jarang kita temui santri yang baru belajar agama, kiyainya dari majalah, radio, website, dauroh kilat yang membaca huruf arab saja belum benar sudah berani menghukumi saudara yang lain, ini musyrik ini muwahhid, ini masuk surga ini neraka, ustadz itu salah ustadz itu jangan diikuti.

Siapakah pengarang kitab ini?

Ialah Imam al-Zarnuji yang terlahir dengan nama Burhanuddin al-Zarnuji, sebagian menyebutkan bahwa namanya adalah Syeikh Ibrahim bin Isma'il Al Zarnuji. Jika dilihat dari nisbahnya, yaitu Az-Zarnuji, maka sebagian peneliti mengatakan bahwa ia berasal dari Zaradj, yakni suatu daerah yang kini dikenal dengan nama Afganistan. Adapula yang menyebutkan bahwa ia berasal dari daerah Ma Warâ’a al-Nahar (Transoxinia). Tidak diketahui secara pasti mengenai tanggal kelahiran meupun sejarah kehidupannya, namun ada dua pendapat yang menjelaskan tentang wafatnya, yakni Pertama, pendapat yang mengatakan beliau wafat pada tahun 591 H./1195 M. Sedangkan pendapat yang kedua mengatakan bahwa Az-Zarnuji wafat pada tahun 840 H./1243 M.

Az-Zarnuji menuntut ilmu di Bukhara dan Samarkan, yaitu ibu kota yang menjadi pusat keilmuan, pengajaran dan lain-lainnya. masjid-masjid di kedua kota tersebut dijadikan sebagai lembaga pendidikan dan diasuh oleh beberapa guru besar seperti Burhanuddin Ali bin Abi Bakr Al-Marginani (Th. 1197) pembesar ulama’ Hanafiyah pengarang kitab al Hidayah , Syamsuddin Abdil Wajdi Muhammad bin Muhammad bin Abdul Satar, selain itu banyak guru Az- Zarnuji yang pendapat-pendapat mereka banyak diangkat dalam karyanya Ta’allim al-Muta’allim.

Selain tiga orang di atas, Az-Zarnuji juga berguru kepada Ali Bin Abi Bakar Bin Abdul Jalil Al Farhani, Ruknul Islam Muhammad bin Abu Bakar yang dikenal dengan nama Khawahir Zada, seorang mufti Bukhara yang ahli dalam bidang fiqih, sastra dan syair, Hammad Bin Ibrahim ahli fiqih, sastra dan ilmu kalam, Fakhuruddin Al-Kasyani, Rukhnuddin al-Farhami ahli fiqih, sastra dan syair. Ia juga belajar kepada Al-Imam Sadiduddin Asy-Syirazi.

Dari karya beliau Kitab Ta’lim Muta’alim ini, dapat di ketahui bahwa beliau adalah sosok yang yang ‘Alim Fiqh yang bermadzham Hanafi dan fanatik terhadap Madzhabnya, terbukti beliau sering menyebutkan pendapat dari para ulama’ hanafiyah, bahkan beliau dalam mencontohkan kitab yang harus di pelajari dalam tahapan belajar, beliau menyebutkan Kitab-kitab Hanafiyah.

Jika ada yang bilang, Kiyai pesantren hanya fanatik dengan madzhab Syafi’i saja, ternyata anggapan itu salah. Terbukti para kiyai juga mempelajari kitab-kitab dari Madzhab lain seperti kitab ta’limul muta’allim yang Hanafi, kitab Bidayatul Mujtahid yang Maliki.

ISI KITAB

Secara garis besar, kitab “Ta’limul muta’allim” ini memuat beberapa point sebagai berikut:1)Pengertian Ilmu dan Keutamaannya2)Niat di kala belajar3)Memilih ilmu, guru dan teman serta ketahanan dalam belajar4)Menghormati ilmu dan ulama5)Ketekunan, kontiunitas dan cita-cita luhur6)Permulaan dan intensitas belajar serta tata tertibnya7)Tawakal kepada Allah8)Masa belajar9)Kasih sayang dan memberi nasehat10)Mengambil pelajaran11)Wara (menjaga diri dari yang haram dan syubhat) pada masa belajar12)Penyebab hafal dan lupa, dan13)Masalah rezeki dan umur.


Khusus pokok bahasan penulis kali ini adalah dampak dari kitab “Ta’limul Muta’allim” terhadap sikap santri kepada kiyai. Sang pengarang menjelaskan cara memuliakan ilmu dan cara memuliakan para guru dan Kiai selaku shohibul ilmi. Perlu kita ketahui, seorang yang mencari ilmu tidak akan mendapatkan ilmu dan keutamaannya, terkecuali menghormati ilmu dan para guru dan Kiai, dan termasuk memulyakan ilmu adalah adalah menulis dengan tulisan yang baik dan jelas, agar kita tidak menyesal dan di caci maki oleh anak cucu kita.

Adab yang tidak boleh dilakukan terhadap guru:

• Tidak berjalan di depan guru.
• Tidak menduduki tempat yang di duduki seorang guru.
• Tidak mendahului bicara di hadapan guru kecuali dengan izinnya.
• Tidak bertanya dengan pertanyaan yang membosankan guru.
• Tidak mengganggu istirahat guru.
• Tidak menyakiti hati guru.
• Jangan duduk terlalu dekat dengan guru.

Kiyai dan guru dalam dunia pesantren sangatlah dihormati bukan dengan maksud me-nuhankannya tetapi terlebih karena itulah seharusnya sikap pencari ilmu terhadap orang yang mendidiknya. Kita adalah hamba bagi siapa yang telah mengajari kita meski hanya satu huruf saja.

Untuk versi terjemahnya, mungkin bisa buka link berikut ini: Klik.

Rumah Fiqih Indonesia

4 komentar:

Muh. Muldi Zenaldi mengatakan...

matur suwun....

Bagian Hukum Setdako Banjarmasin mengatakan...

UStadz, tulisan2nya tidak di lanjutkan??padahal sangat bagus dan bermanfaat..

Luthfi Abdu Robbihi mengatakan...

Doakan semoga aktif menulis lagi. Sekarang kadang menulis disini pak www.rumahfiqih.com

Luthfi Abdu Robbihi mengatakan...

Doakan semoga aktif menulis lagi. Sekarang kadang menulis disini pak www.rumahfiqih.com

Posting Komentar